Saturday, March 10, 2012

A. Pengertian Hukum dan Sumber Hukum Islam
Hukum menurut pengertian bahasa berarti menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya. Menurut istilah ahli usul fikih , hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT, yang menuntut mukalaf (orang yang sudah balig dan berakal sehat) untuk memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal, rukhsah (kemudahan), dan azimah.
Menurut istilah ahli fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntunan syariat, berupa al-wujud, al-mandud, al-hurmah, al-karahah, dan al-ibadah. Sedangkan perbuatan yang dituntut itu wajib, sunnah (mandud), haram, makru, dan mubah.
Maksud hukum islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan saksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber hukum islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat islam.
Sumber utama hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadis. Rasullah SAW bersabda: “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selma kalian berpegangan pada keduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunahku (Hadis).” (H.R. Baihaqi)
Di samping itu, para ulama fikih menjadikan ijtihad, sebagai salah satu dasar hukum islam, setelah Al-Qur’an dan Hadis.
Dasar hukum ijtihad adalah hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Turmuzi dan Abu Daud yang mngungkapakan dialog Nabi SAW dengan Mu’az bin Jabal, ketika Mu’az akan ditugaskan sebagai Gubernur Yaman.




B. Pengertian, Kedudukan, dan Fungsi Al-Qur’an
1. Pengertian
Secara harfiah, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al-Qur’an berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari. Al-Qur’an berarti himpunan, karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT (wahyu).
Menurut istilah, Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT yang diwahyukan dalam bahasa Arab kepada rasul/nabi terakhir Nabi Muhammad SAW, yang membacanya adalah ibadah.

2. Kedudukan
Al-Qur’an merupakan Sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, baik yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
Dalil naqli bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang pertama dan utama antara lain Q.S An-Nisa, 4: 59, Q.S. An-nisa, 4: 105, dan hadis.
بِسْمٍ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 59 disebutkan bahwa setiap muslim wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rosul dan kehendak ulil ‘amri yakni orang yg mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad.
Hadis yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum pertama dan utama adalah hadis riwayat Turmuzi dan Abu Daud yang berisi dialog, antara Rasulullah SAW dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal, gubernur Yaman.
3. Fungsi
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat Islam dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (lihat Q.S. Al-Isra, 17: 9)
Sayid Husein Nasr berkata bahwa Al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi manusia:
a) Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal baik jagat raya maupun makhluk yg mendiaminya, termasuk ajaran tentang keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak.
b) Kedua, Al Quran berisi sejarah atau kisah-kisah manusia zaman dl termasuk kejadian para Nabi, dan berisi pula ttg petunjuk di hari kemudian atau akhirat.
c) Ketiga, Al Quran berisi pula sesuatu yg sulit dijelaskan dgn bahasa biasa karena mengandung sst yg berbeda dgn yg kita pelajari secara rasional.
Al quran terdiri dari 114 surat; 91 surat turun di Makkah dan 23 surat turun di Madinah. Surat yang turun di Makkah dinamakan makiyyah, pada umumnya suratnya pendek-pendek, menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlak, ditujukan kepada manusia. Sedangkan yang turun di Madinah disebut surat Madaniyyah. Pada umumnya surat madaniyyah panjang-panjang, menyangkut peraturan-peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan Tuhan dan seseorang dengan sesamanya.




C. Pengertian, Kedudukan, dan Fungsi Hadis
a. Pengertian
Perkataan hadis berasal dari bahasa Arab yang artinya baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, dan cerita. Menurut istilah ahli hadis yang dimaksud dengan hadis adalah segala berita yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW berupa ucapan, perbuatan, dan takrir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat Nabi SAW.
Hadis Nabi SAW, dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a) Hadis Qauliyah, yaitu hadis yang didasarkan atas segala perkataan dan ucapan Nabi SAW.
b) Hadis/Sunah Fi’liyah, yaitu hadis/sunah yang didasarkan atas segenap perilaku dan perbuatan Nabi SAW.
c) Hadis/Sunah Takririyah, yaitu hadis yang disandarkan pada persetujuan Nabi SAW atas apa yang dilakukan para sahabatnya.
b. Kedudukan
Para ulama Islam berpendapat bahwa hadis menempati kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an. Apabila sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslim akan mengalami kesulitan dalam hal cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain-lain. Sebab ayat Al Quran dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum dan penjelasan terperinci ada pada sunnah Rasulullah.
Barangsiapa yang tidak mengakui Hadis sebagai sumber hukum Islam atau mengingkarinya, maka ia dianggap ingkar Sunah, dan dinyatakan murad (keluar dari Islam atau kafir). (Coba lihat Q.S. An-Nisaa’, 4: 80)
c. Fungsi
Fungsi atau peranan Hadis di samping Al-Qur’anul Karim adalah:
a) Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an (bayan at-taqriri).
Misalnya yaitu:
1) Hadits “Berpuasalah ketika melihat bulan dan berbukalah krn melihatnya” adalah memperkokoh Q.S. Al-Baqarah, 2: 185.
2) Keharusan berwudu ketika akan mengerjakan salat yang tercantum dalam Surah Al-Maa’idah, 5: 6, diperkuat oleh Hadis Nabi SAW, yang artinya: “Tidak diterima salat seseorang yang berhadas sebelum berwudu.” (H.R. Bukhari)
3) Penegasan Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nisaa’, 4: 48 bahwa syirik itu termasuk dosa besar, telah diperkuat oleh hadis riwayat Muslim. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar? (diucapkan beliau sampai tiga kali), yaitu: menyekutukan Allah (syirik), durhaka pada kedua orangtua, kesaksian palsu, atau berkata dusta.” (H.R. Muslim)
b) Menjelaskan, menafsirkan, dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum dan samar (bayan at-tafsir).
Misalnya yaitu:
1) Hadits “shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat” adalah merupakan tafsiran dari ayat Al-Qur’an yang umum yaitu “kerjakan shalat”.
2) Allah SWT dalam Al-Qur’an mewajibkan salat lima waktu, tetapi tidak dijelaskan secara detail tentang tata cara pelaksanaannya, syarat-syarat sahnya, rukun-rukunnya, sunah-sunahnya, dan yang membatalkannya. Tata cara pelaksanaan salat yang tidak dijelaskan Al-Qur’an itu, dijelaskan oleh Hadis.
3) Allah SWT dalam Al-Qur’an mewajibkan untuk membayar zakat, tetapi tidak dijelaskan secara detail tentang pelaksanaannya. Pelaksanaan zakat secara detail dijelaskan dalam Hadis (Sunah).
c) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an (bayaan at-tasyrii’), namun pada prinsipnya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Misalnya: masalah menggosok gigi (siwak) yang disunahkan oleh Nabi SAW. Hal itu tidak terungkap secara eksplisit dan detail dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya menegaskan masalah kebersihan secara umum.



D. Pengertian, Kedudukan, dan Fungsi Ijtihad
a. Pengertian
Menurut pengertian kebahasaan kata ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.
Muslim yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Yusuf al-Qardawi (ahli usul dan fikih), menjelaskan bahwa persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah: (1)memahami Al-Qur’an dan asbaabun nuzuul-nya (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an), serta ayat-ayat nasikh (yang menghapus hukum) dan mansukh (yang dihapus), (2) memahami hadis dan sebab-sebab wurudnya (munculnya Hadis-hadis), serta memahami Hadis-hadis nasikh dan mansukh, (3) mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab, (4) mengetahui tempat-tempat ijmak, (5) mengetahui usul fikih, (6) mengetahui maksud-maksud syariat, (7) memahami masyarakat dan adat istiadatnya, dan (8) bersifat adil dan takwa.
Muhammad Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad yang biasa disebut Ar Ra’yu mencakup dua pengertian, yaitu:
a) Penggunaan pikiran untuk menentukan hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Quran dan Sunnah
b) Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari suatu ayat atau hadits.
c) Kedudukan
Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan Hadis. Hadis yang dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda Rasulullah SAW:

اذا حـكم الـحـاكمُ فاجـتـهـدَ ثُـمَ اصـابَ فـلـهُ اجـرَان و اذا حكم فاجـتـهـدَ ثُـمَ اخـطأ فـلـهُ اجْـرٌ واحِــدٌ
Artinya: “Apabila seorang hakim di dalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Pada dasarnya yg ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad mungkin berlaku bagi satu orang tapi tidak berlaku bagi orang lain (menyangkut tempat dan waktu). Ijtihad tidak berlaku dalam urusan ibadah mahdhah. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat, kemaslahatan umum dan kemanfaatan bersama.

b. Fungsi
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ditinjau dari segi sejarahnya ijtihad, ijtihad telah dilakukan semenjak Rasulullah SAW masih hidup dan terus berlanjut setelah beliau wafat.
Tidak semua orang dapat berijtihad. Yang dapat menjadi mujtahid adalah:
a) Menguasai bhs Arab utk dpt memahami Al Quran dan kitab-kitab berbahasa Arab
b) Mengetahui isi dan sistem hukum Al Quran dan ilmu utk memahami al quran
c) Mengetahui hadis-hadis hukum dan ilmu-ilmu hadits
d) Menguasai kaidah-kaidah fikih
e) Mengetahui tujuan hukum Islam
f) Jujur dan ikhlas
Persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah:
a) Memahami Al-Qur’an dan asbaabun nuzuul-nya (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur’an), serta ayat-ayat nasikh (yang menghapus hukum) dan mansukh (yang dihapus)
b) Memahami hadis dan sebab-sebab wurudnya (munculnya Hadis-hadis), serta memahami Hadis-hadis nasikh dan mansukh
c) Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab, mengetahui tempat-tempat ijmak
d) Mengetahui usul fikih, mengetahui maksud-maksud syariat, mengetahui masyarakat dan adat istiadatnya, bersifat adil dan takwa
e) Mendalami ilmu ushuluddin (ilmu tentang akidah Islam), memahami ilmu mantik (logika), dan mengetahui cabang-cabang fikih

Bentuk-bentuk ijtihad yang biasa dipergunakan oleh para mujtahid adalah:
a) ‘Ijma, adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas suatu masalah yang berkaitan dengan syariat.
b) Qiyas (ra’yu), yaitu menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya dengan memperhatikan kesamaan antara kedua hal itu.
c) Istihab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya suatu dalil, sampai ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.
d) Maslahah Mursalah, yaitu kemaslahatan atau kebaikan yang tidak disinggung-singgung syara’ untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dilakukan akan membawa kemanfaatan terhindar dari keburukan.
e) ‘Urf, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang baik dalam kata-kata atau perbuatan.




E. Hukum Taklifi dan Hukum, Wad’i
1. Pengertian Hukum Taklifi dan Hukum Wad'i, Kedudukannya dan Fungsinya
a. Pengertian
Hukum taklifi menurut bahasa adalah hukum pemberian beban. Sedangkan menurut istilah ialah ketentuan Allah SWT yang menuntut mukalaf untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Tuntunan Allah untuk melakukan perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-qur'an surah Al-Baqarah, 2: 110.

بِسْمٍ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
ۚالزَّكَاةَ وَآتُوا الصَّلَاةَ وَأَقِيمُوا
Artinya: "Dan dirikanlah shalat dan menunaikan zakat.' (Q.S. Al-Baqarah, 2: 110)

Tuntunan Allah SWT dalam firman-Nya tersebut melahirkan kewajiban untuk mengerjakan salat bagi setiap mukalaf dan kewajiban mengeluarkan zakat, bagi setiap orang yang telah memenuhi syarat wajibnya.
Tuntunan Allah untuk meninggalkan suatu perbuatan, misalnya firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Isra', 17: 33.
بِسْمٍ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
بِالحَقِّ إِلاَّ اللّهُ حَرَّمَ الَّتِي النَّفْسَ تَقْتُلُواْ وَلاَ

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yangdiharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengansuatu (alasan) yang benar (Q.S. Al-Isra', 17: 33)”
Tuntunan pada ayat tersebut bersifat pasti, yakni dilarang membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah SWT. Jika larangan itu dilanggar, maka pelakunya dianggap berdosa dan pasti akan mendapat hukuman.
Tuntunan Allah SWT mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya, seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Jumu'ah, 62: 10. Yang artinya: “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (Q. S. Al-Jumu'ah, 62: 10)
Tuntunan untuk mencari rezeki setelah selesai salat Jumat itu, semula merupakan suatu kewajiban. Tetapi karena masalah mencari rezeki itu tidak wajib bagi semua orang, dan tidak wajib pula dilakukan setelah salat Jumat, maka tuntunan Allah SWT yang semula wajib itu, berubah menjadi mubah (boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan).

Pengertian hukum wad'i ialah ketentuan Allah SWT yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu hukum. Misalnya salat menjadi menjadi sebab adanya kewajiban berwudhu terlebih dahulu (Q.S Al-Ma'idah, 5: 6). Adanya kemampuan (Istita'ah) menjadi syarat wajibnya menunaikan ibadah haji (Q.S Ali-'Imran, 3: 97). Adanya perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris, menjadi penghalang dalam hal pembagian harta waris. Rasulullah SAW bersabda: "Tidak boleh orang muslim mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir (non-muslim) tidak boleh mewarisi harta orang muslim." (H.R. Bukhari dan Muslim)

b. Kedudukan dan Fungsi

Kedudukan dan fungsi hukum taklifi menempati posisi yang utama dalam ajaran Islam, karena hukum taklifi membahas sumber hukum Islam yang utama, yaitu Al-Qur'an dan Hadis dari segi perintah-perintah Allah SWT dan Rasul-Nya yang wajib dikerjakan, larangan-larangan Allah SWT dan Rasul-Nya yang harus ditinggalkan serta berbentuk pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalakannya.
Macam-macam hukum taklifi dan bentuknya itu sebagai berikut:
1) Al-Ijab, yaitu tuntunan secara pasti dari syariat untuk melaksanakan, tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman. Bentuk hukuman dari Al-Ijab ialah wajib (fardu), yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya mendapat pahala tetapi apabila ditinggalkan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat hukuman. Perbuatan fardu ditinjau dari segi orang yang melakukannya dapat dibagi dua macam, yaitu:
(a) Fardu 'Ain, yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukalaf. Contohnya: melaksanakan puasa Ramadhan, salat lima waktu, haji, berbakti pada orang tua.
(b) Fardu Kifayah, yaitu perbuatan yang harus dilakukan oleh salah seoarang anggota masyarakat. Jika perbuatan tersebut telah dikerjakan oleh minimal seorang anggota msyarakat, maka anggota-anggota masyarakatnya tidak dikenai kewajiban. Tetapi apabila tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa.

2) An-Nadb, yaitu tuntutan dari syariat untuk melaksanakan suatu perbuata, yang apabila dikerjakan pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunah dibagi dua, yaitu:
(a) Sunnah 'Ain, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu. Contohnya Salat sunat rawatib, puasa pada hari senin dan kamis, mengucapkan salam.
(b) Sunnah Kifayah, yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh seorang atau beberapa orang dari golongan masyarakat. Contohnya mendo’akan muslim/muslimah yang bersin dengan lafal do’a yarhamukallaah (semoga Allah merahmati Anda).
3) Al-Karahah, ialah sesuatu yang dituntut syar'i kepada mukalaf untuk meninggalkannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti. Bentuk hukum dari Al-Karahah disebut makruh. Orang yang mengerjakan perbuatan makruh dianggap tidak berdosa, dan yang meninggalkannya mendapat pujian dan pahala.
Contohnya memakan makanan berbau seperti pete’ ketika akan bergaul dengan orang lain, dan berjalan ketika azan jum’at.
4) At-Tahrim, yaitu tuntutan syar'i untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Bentuk hukuman dari At-Tahrim ialah haram, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan dianggap berdosa, tetapi apabila ditinggalakan pelakunya akan mendapat pahala.
Contohnya seperti meminum minuman keras yang memabukkan (Q.S. Al-Maaidah, 5: 90), melakukan pencurian (Q.S. Al-Maaidah, 5: 38), durhaka kepada orang tua.
5) Al-Ibahah, yaitu firman Allah SWT yang mengandung pilihan untuk melakukan suatu perbuatan atau meninggalkannya. Bentuk hukum dari Al-Ibahah ialah mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalakan. Dikerjakan atau ditinggalkan, pelakunya tidak akan mendapat pahala, dan tidak pula dianggap berdosa.
Contohnya memakan berbagai jenis makanan halal, seperti nasi, sayur-mayur, dan buah-buahan. Memilih warna pakaian untuk menutup aurat.
Bentuk hukum wad'i merupakan ketentuan-ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang sebab, syarat, mani' (penghalang), batal (fasid), azimah, dan rukhsah dalam hukum islam.
1. Sebab
Menurut istilah syara' sebab adalah suatu keadaan atau peristiwa yang dijadikan sebagai sebab adanya hukum, dan tidak adanya keadaan atau peristiwa itu, menyebabkan tidak adanya hukum.
Contohnya:
a) Melakukan perjalanan jauh, menjadi sebab dibolehkannya berbuka puasa pada siang hari bulan Ramadhan.
b) Transaksi jual beli menjadi sebab perpindahan hak milik dari penjual kepad pembeli.
2. Syarat
Syarat ialah sesuatu yang dijadikan syar'i (hukum Islam), sebagai pelengkap terhadap perintah syar'i, tidak sah pelaksanaan suatu perintah syar'i, kecuali dengan adanya syarat tersebut.
Contohnya:
a) Berwudhu dengan air suci mensucikan merupakan salah satu syarat sahnya wudhu. Dengan demikian berwudhu dengan air yang bernajis (tidak sah), maka wujudnya dianggap tidak sah. Bahkan berwudhu dengan air kopi dan susu (air suci tetapi tidak menyucikan), juga dihukumi tidak sah.
b) Menutup aurat merupakan salah satu syarat sahnya salat. Dengan demikian orang yang salat dalam keadaan telanjang atau terbuka auratnya, maka salatnya dianggap tidak sah.
3. Mani' (Penghalang)
Adalah suatu keadaan atau peristiwa yang ditetapkan syar'i menjadi penghalang bagi adanya hukum atau membatalkan hukum.
Contohnya najis yang ada di badan atau pakaian orang yang sedang mengerjakan salt menjadi penghalang bagi sahnya salat (salatnya batal).
4. Azimah dan Rukhsah
Azimah ialah peraturan Allah SWT yang asli dan tersurat pada nas (Al-Qur'an dan Hadis) dan berlaku umum.
Contohnya kewajiban salat lima waktu dan puasa Ramadhan, haramnya memakan bangkai, darah, dan daging babi.
Rukhsah ialah ketentuan yang disyariatkan oleh Allah SWT sebagai keringanan yang diberikan kepada mukalaf dalam keadaan-keadaan khusus.
Contohnya bagi orang yang dalam perjalanan jauh diberi keringanan (rukhsah) untuk mengerjakan salat Zuhur di waktu asar dan salat Magrib di waktu isya (jamak ta’khir).





2. Penerapan Hukum Taklifi dan hukum wad'i dalam Kehidupan Sehari-hari.
Seorang muslim atau muslimah yang merapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari tentu salama hidup di alam dunia ini akan senantiasa melaksanakan perintah Allah SWT yang hukumnya wajib, meninggalkan segala larangan Allah SWT yang hukumnya haram, dan lebih baik lagi kalau mengerjakan anjuran Allah SWT dan rasul-Nya yang hukumnya sunah dan meninggalkan larngan larangan-Nya yang hukumnya makruh. sedangkan hal-hal yang hukumnya mubah, seorang muslim dan muslimah boleh mengerjakannya dan boleh tidak, karena baginya tidak ada pahala dan tidak ada dosa.
Seorang muslim dan muslimah yang menerapkan hukum wad'i, tentu akan senantiasa menghambakan diri (beribadah) kepada Allah SWT dengan dilandasi niat urang karena Allah SWT dan sesuai dengan ketentuan syara', yakni terpenuhi syarat syarat sahnya, rukun rukunnya, dan terpelihara dari hal hal yang membatalkannya.
Beruntunglah muslim atau muslimah yang menerapkan hukum traklifi dan hukum wad'i dalam kehidupan sehari-hari sehingga ia menjadi seoarang yang bertakwa kepada Allah SWT. Sedangkan Seorang Muslim/Muslimah yang betul-betul bertakwa, tentu akan memperoleh rida dan rahmat Allah SWT, serta kebaikan-kebaikan yang banyak, baik di alam dunia yang fana ini maupun di alam akhirat kelak. (Lihat Q.S. An-Nur, 24: 52)
بِسْمٍ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Artinya: “Dan barang siapa yang taat kepada Allah danrasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwakepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yangmendapat kemenangan.”
Yang dimaksud dengan takut kepada Allah ialah takut kepada Allah disebabkan dosa-dosa yang telah dikerjakannya, dan yang dimaksud dengan takwa ialah memelihara diri dari segala macam dosa-dosa yang mungkin terjadi.



REFERENSI

 Ali Zainuddin, 2006, Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika
 Nugraheni, Desti Budi. Sumber-Sumber Hukum Islam
 http://www.teguhsantoso.com/2011/07/hukum-islam-pengertian-dan-sumbernya.html#ixzz1mMJ3xAco
 www.wikipedia.com
 Haludhi, Khuslan dan Sa’id, Abdurrohman. 2004. Integrasi Budi Pekerti Dalam Pendidikan Agama Islam untuk Kelas 1 SMA. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

No comments:

Post a Comment