Ary Wibowo |
Hery Prasetyo |
Kamis, 19 April 2012 | 06:26 WIB
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI)
KOMPAS.com - Akhir
abad ke-19, bermodalkan semangat persatuan dan kesatuan, sejumlah
pemuda Nusantara mencari cara menggalang semangat nasionalisme bangsa.
Di kala kemiskinan dan kesengsaraan rakyat yang semakin menjadi ketika
kolonialisme Belanda mengerogoti kesejahteraan Nusantara, rakyat
Indonesia berjuang untuk membentuk sebuah perlawanan terhadap pemerintah
kolonial.
Di tengah keadaan itu dan hiruk pikuk ideologi besar
seperti komunisme, nasionalisme, hingga sosialisme, kemudian munculah
pencerahan, bernama sepak bola. Ibarat di zaman Aukflarung yang
mengobarkan semangat masyarakat Eropa pada abad ke-18, olahraga itu
bertansformasi tidak hanya menjadi produk kebudayaan, tetapi menjadi
produk politik, yang di dalamnya terkait erat soal identitas dan spirit
kebangsaan atau nasionalisme Indonesia.
Seperti beberapa ideologi besar itu, sepak bola pun tumbuh menjadi
counter culture
terhadap perkembangan masyarakat terhadap kolonialisme bangsa Eropa.
Karena, di zaman itu tak jarang diskriminasi kelas terjadi hingga
merambah dalam urusan sepak bola yang menjadi olahraga populer di Hindia
Belanda. Klub-klub pribumi dilarang tampil melawan klub Eropa. Untuk
menumpang bermain di lapangan milik Belanda, pemuda Nusantara pun harus
rela kehilangan asa.
Atas dasar itulah, pada 19 April 1930, lahir
Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (sekarang PSSI) sebagai puncak
keresahan masyarakat pribumi terhadap perlakukan diskriminatif yang
menyakitkan hati. Apalagi, ketika itu, pemerintah kolonial hanya
memperhatikan bond-bond Belanda dan anggota pemain kulit putih dalam
perkumpulan yang dikenal sebagai Nederland Indische Voetbal Bond (NIVB).
Dalam
konteks ini, jelas PSSI lahir tidak hanya dijadikan sebagai protes atas
sikap disriminasi tersebut, melainkan sebagai simbolisasi perjuangan
bangsa dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan Indonesia. Maka
tidak heran pula para politikus dan pejuang pergerakkan bangsa kemudian
berubah menjadi sosok penting dalam urusan sepak bola. Ikrar sumpah
pemuda dijadikan ikatan batin bagi mereka dan sejumlah pemain di
lapangan hijau.
Pahlawan
Salah satu
contoh bentuk perjuangan itu dapat kita dari kegigihan sang pendiri
PSSI, Ir Soeratin Sosrosoegondo. Lulusan insinyur lulusan Jerman itu
terus menggunakan sepak bola sebagai wadah meningkatkan nasionalisme
bangsa. Bersama salah satu penggagas sumpah pemuda, Dr.Soetomo, Soeratin
beberapa kali mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh sepak bola di
Solo, Yogyakarta, dan Bandung untuk menyalurkan gagasannya itu. Ia pun
rela keluar dari perusahaan konstruksi besar milik Belanda demi
mengurusi sepak bola Nusantara.
Belum lagi, kisah Bung Hatta,
Sutan Sjahrir, Husni Thamrin hingga Tan Malaka yang juga pernah
mengobarkan api semangat lewat sepak bola. Mereka tidak hanya menjadi
penggemar, melainkan menjadi pesepak bola tangguh. Rosihan Anwar dalam
bukunya berjudul
Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, dan Demokrat Sejati
menyebut bahwa Sjarir adalah gelandang tengah yang hebat. Seperti Bung
Hatta, ia pun sempat menjadi anggota klub sepak bola bernama LUNO (Laat U
Niet Overwinnen) di Bandung.
Tan Malaka dalam buku
Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan
karangan Arif Zulkifli disebut sebagai pemain sepak bola lincah yang
memiliki tendangan kencang. Selama tinggal di Harleem pada 1914-1916, ia
pun pernah menjadi pemain profesional klub Viugheid Wint. Bahkan,
ketika dalam kondisi sakit karena sering terluka lantaran kakinya tak
bersepatu, nafsu bermain sepak bola Tan Malaka pun tidak padam.
Muhammad Husni Tamrin, seorang politikus Volkraad atau Dewan Rakyat juga dikenal sebagai pecandu sepak bola. Dalam
Ensiklopedi Pahlawan Indonesia dari Masa ke Masa
disebutkan pada 1932, Thamrin pernah menyumbangkan dana sebesar 2000
Gulden untuk mendirikan lapangan sepak bola bernama Voetbalbond
Indonesia Jacatra (VIJ). Letak lapangan yang ada di daerah Kwitang,
Jakarta itu pun menjadi tempat pertama yang dibangun untuk rakyat
pribumi menyalurkan hobinya bermain sepak bola.
Lapangan itu
kemudian menjadi, tempat pelaksanaan Kejuaraan Nasional II PSSI. Di
pertandingan puncak yang mempertemukan VIJ melawan PSIM, Thamrin secara
khusus meminta Soekarno, untuk melakukan tendangan pertama petanda
dibukanya pertandingan tersebut. Setelah itu, pribumi pun bisa
bergembira, karena sepak bola kemudian mengubah keputus-asaan menjadi
gelora semangat Indonesia. Sembari menuju gerbang kemerdekaan, Nusantara
pun perlahan mulai unjuk gigi melalui sepak bola kepada dunia.
Tinta emas
Awal
mula tinta emas kesuksesan bermula ketika digulirkannya kompetisi
kejuaraan nasional PSSI ke III pada 1938 di Surabaya. Saat itu, pribumi
yang bargabung di VIJ berhasil mempermalukan Soerabajasche Indonesische
Voetball Bond (SIVB) yang memakai sejumlah bintang dari NIVU (pengganti
NIVB) dengan skor 2-1. Takjub melihat kelincahan pribumi yang tanpa alas
kaki memainkan kulit bundar, NIVU akhirnya memutuskan bekerja sama
dengan PSSI pada 15 Januari 1937,
Berkat kerjasama yang dikenal
sebagai Gentlemen's Agreement itulah, Nusantara kemudian mendapatkan
kesempatan untuk tampil di Piala Dunia 1938 di Perancis. Dunia pun
semakin kagum setelah PSSI dengan punggawanya yakni Tan Malaka, Maladi,
Djawad, dan kawan-kawan mampu menahan imbang 2-2 kesebelasan dari China,
Nan Hwa, yang sebelumnya mengalahkan Belanda 4-0, di pertandingan
internasional pada 15 Agustus 1937.
Meski di Piala Dunia,
Nusantara harus rela dipermalukan 0-6 oleh Hungaria, tidak ada kata
putus asa menyinggapi pesepak bola Indonesia. Mereka terus berbenah,
hingga menjadi pionir bagi daratan Asia untuk mengenal olahraga yang
begitu digandrungi di Eropa itu. Indonesia kemudian mampu berbangga diri
di kawasan Asia Tenggara hingga daratan Korea. Prestasi pun terus
menghinggapi generasi emas di tingkat pemain muda hingga senior.
Tercatat
setidaknya puluhan prestasi dapat diraih Indonesia. Di tiga kali
penampilannya dalam kejuaraan Piala Asia Yunior, Indonesia berhasil
menjadi juara pada 1962, dan dua kali
runner up pada 1967 dan
1970. Dalam Kejuaraan Pelajar Asia, bahkan pemuda Indonesia mampu meraih
tiga gelar berturut-turut pada 1984, 1985, dan 1986.
Prestasi
itu kemuduan berlanjut ke tingkat senior. Di kejuaraan Asian Games pada
1958, Indonesia mampu meraih medali perunggu untuk pertama kalinya
setelah menyingkirkan India dengan skor telak 4-1. Dalam turnamen Sea
Games, era 1980 hingga 1990-an, Indonesia pun dapat dibilang cukup
sukses, karena mampu meraih medali emas pada 1987 dan 1991. Indonesia
pun berkali-kali membungkam sejumlah negara besar Asia, seperti Taiwan,
Hongkong, Jepang dan Korea Selatan.
Pecah belah
Melihat
sepenggal fakta sejarah ini, rasanya sangat bertolak belakang dengan
kenyataan sekarang. Nilai-nilai historis itu seperti diabaikan oleh
sejumlah cengkaraman politisi busuk yang merajalela dalam dunia sepak
bola. Tidak ada lagi, sosok pahlawan sepak bola yang tulus berjuang demi
mengharumkan nama Indonesia. Catatan sejarah dan prestasi emas itu
kemudian seperti terkurung dalam kotak kelam.
Pengorbanan dan
cita-cita awal didirikannya PSSI sebagai salah satu pilar mewujudkan
harga diri melalui prestasi seperti mati suri saat ini. Meski ada
sedikit prestasi dibalik sejarah kelam ini, seperti kejuaraan muda di
Hongkong, dan lolos ke babak kedua Pra-Piala Dunia, faktanya sangat
jarang rakyat menonton pertarungan olahraga sehat selama 2x45 menit di
lapangan.
Keributan suporter, praktik korupsi, hingga konflik
tiada henti lebih menjadi inti sepak bola tanah air kurang lebih
beberapa tahun belakangan ini. Jutaan pendapat, umpatan kekesalan
masyarakat akibat prestasi yang tak kunjung datang, pun dijadikan ajang
saling serang bagi sejumlah pengurus yang bertikai. Tak ada lagi,
kebersamaan untuk mencari prestasi. Kisruh yang tak kunjung
terselesaikan itu, makin lama makin menjengkelkan.
Kepentingan
para elit yang berkepentingan itu, semakin memangsa dan mengorbankan
prestasi. Kedua kubu, PSSI dan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia
(KPSI) yang saling berseteru memperebutkan kuasa, hanya menampilkan
bahwa sepak bola hanya urusan ego mereka semata. Prestasi sepak bola pun
menjadi bola mati yang hanya menjadi mimpi anak negeri.
Rasanya,
sudah habis kata untuk menyadarkan kedua pengurus yang berseteru itu.
Masyarakat pun sudah bosan dengan kosakata, rekonsiliasi yang terus
terdengar di sejumlah media. Bukannya sadar bahwa seantero negeri ini
rindu akan prestasi, beberapa pengurus bertikai itu justru terus
bermanuver dengan muslihat, dan terus saling tarik urat. Anak bangsa pun
seperti dipecah belah dalam pusaran konflik itu.
Paling anyar,
lihat saja, babak baru perseteruan ini kembali memanas ketika KPSI
membuat PSSI tandingan setelah menggelar kongres luar biasa (KLB) di
Ancol beberapa waktu lalu. Bahkan, setelah adanya dualisme kompetisi
(IPL dan ISL) dan organisasi, sekarang dualisme pun merambah ke tim
nasional. Para pemain tim "Garuda" yang ingin membela negara di tingkat
asia dan dunia pun yang menjadi korban dengan adanya situasi ini.
Fakta
bahwa PSSI pimpinan Djohar Arifin pernah membuat kesalahan dengan
menambah jumlah dan memasukan beberapa klub ke IPL memang cukup sulit
dibantah. Apalagi, PSSI juga terkesan terlambat untuk melakukan
rekonsiliasi yang baru digulirkan di akhir batas
deadline
FIFA. Akan tetapi, sejumlah jalan untuk menyelesaikan perselisihan ini
urung diambil sejumlah pihak, sehingga tidak ada titik temu dari
persoalan ini.
Tidak ada lagi kata persatuan dan kebesaran hati
dari kedua kubu untuk membuktikan kepada publik sepak bola Indonesia
yang rindu akan prestasi. Pada akhirnya konflik itulah yang
mengakibatkan kemunculan sejarah buruk bagi tim nasional senior
Indonesia, salah satunya ketika kalah 0-10 atas Bahrain. Belum lagi
sejumlah kegagalan di tingkat final beberapa kejuaraan di Asia Tenggara.
Kembalikan riwayat PSSI
Harusnya
kedua pengurus yang bersiteru bisa melihat, bagaimana seorang pemimpin
PSSI, Soeratin, rela meninggalkan pekerjaannya dengan penghasilan 1000
gulden untuk membangun semangat nasionalisme bangsa melalui sepak bola.
Bahkan, Soeratin pun harus hidup dalam kemiskinan hingga akhir hayatnya,
karena tidak mampu menebus obat ketika sakit. Dia pun tidak
meninggalkan perusahaan besar dengan kegemilangan materi, kecuali hanya
organisasi yang dicintainya, yaitu PSSI.
Rakyat sejatinya sudah
bosan dengan kesibukan kedua pengurus yang saling tarik urat dengan
manuver dan alasan penuh muslihat. Tanyalah ke masyarakat pecinta sepak
bola sekarang, apa yang diharapkan untuk sepak bola? Jawabannya hanya
satu, yaitu prestasi, titik. Seyogyanya harapan itu, tidak perlu
dimainkan dengan pentas arogansi dan pameran basi sejumlah pengurus yang
tak rela kehilangan posisi.
Hari ini, tepat 82 tahun PSSI
menjadi bagian kehidupan sepak bola tanah air. Sepanjang puluhan tahun
itu pula, masyarakat menanti munculnya pahlawan-pahlawan sepak bola baik
di dalam maupun luar lapangan seperti Soeratin, Bung Hatta, hingga Tan
Malaka. Semestinya pengurus itu sadar, bahwa meskipun ada seribu kali
KLB, akan tetap sia-sia jika dendam PSSI dan KPSI itu terus tercipta.
Jika saja, sejumlah pengurus itu rela mengesampingkan egonya demi
perbaikan sepak bola, tidak ada kata sulit untuk membuat sejarah baru
seperti riwayat PSSI puluhan tahun itu.
Selamat ulang tahun PSSI...